“Fiqih”
sebuah istilah asing di telingaku, sesosok istilah yang hadir yang mengiringi
nuansa hidupku. Ku adalah seorang muslim yang dilahirkan dari rahim wanita
muslim. Islam kutahu sejak lahirku, Islam telah ada pada diriku sejak ku
ditakdirkan untuk keluar sebagai manusia sejati dari alam rahim ibuku lalu
lantunan adzan bapakku serta indahnya iqamah yang menjadi akhir dari sebuah
persaksian bahwa aku terlahir dalam keadaan Islam.
Setiap hari aku dirawat, ditimang-timang dan diajak bermain kesana-kemari tanpa rasa lelah sekalipun oleh kedua orang tuaku.Bukti betapa besar cinta mereka kepada anaknya. Mereka menghiasi hidupku dengan nasehat yang terucap dari bibirnya yang terdengar di hingga gendang telingaku setiap hari tanpa lelahnya. Nasehat-nasehat yang mereka hiaskan bukan menunjukkan sebuah kebencian mereka tapi ini sebagai tanda cinta mereka kepadaku agar kelak saat dewasa, aku tidak menjadi manusia yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.Ada sebuah perintah ibuku yang hingga kini masih terngiang dalam sanubari hatiku.Ketika itu beliau hampir setiap hari berkata,”Le, Ayo sholat sudah Ashar ini, kamu habis ini ngaji di masjid.Jangan sampai bolos lho, ibu nggak suka.”Ngaji?Ngaji dan Ngaji.Sebuah kata-kata yang sejak TK sudah tak asing lagi di telingaku. Mengaji merupakan sebuah aktivitas yang sangat menakutkan bagiku karena setiap akan berangkat mengaji ku harus dimarah-marahi oleh ibuku tercinta.Sebuah trauma yang mendalam bagiku ketika itu.Ku berangkat ke tempat kajian dengan hati yang sangat berat seberat memikul karung 1 kuintal yang sering kulihat di pasar.Yah begitulah, masa-masa kecilku.Waktu itu yang kuinginkan adalah main-main saja dengan teman sebayaku yang mereka tidak mengaji dan menghabiskan kehidupannya dengan bersenang-senang.Orang tuaku memang orang yang sangat kolot dengan agama.Seringkali beliau mengatakan kepadaku semasa itu,”Kamu harus bisa mengaji dan jangan seperti bapake yang nggak bisa mengaji.”
Setiap hari aku dirawat, ditimang-timang dan diajak bermain kesana-kemari tanpa rasa lelah sekalipun oleh kedua orang tuaku.Bukti betapa besar cinta mereka kepada anaknya. Mereka menghiasi hidupku dengan nasehat yang terucap dari bibirnya yang terdengar di hingga gendang telingaku setiap hari tanpa lelahnya. Nasehat-nasehat yang mereka hiaskan bukan menunjukkan sebuah kebencian mereka tapi ini sebagai tanda cinta mereka kepadaku agar kelak saat dewasa, aku tidak menjadi manusia yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.Ada sebuah perintah ibuku yang hingga kini masih terngiang dalam sanubari hatiku.Ketika itu beliau hampir setiap hari berkata,”Le, Ayo sholat sudah Ashar ini, kamu habis ini ngaji di masjid.Jangan sampai bolos lho, ibu nggak suka.”Ngaji?Ngaji dan Ngaji.Sebuah kata-kata yang sejak TK sudah tak asing lagi di telingaku. Mengaji merupakan sebuah aktivitas yang sangat menakutkan bagiku karena setiap akan berangkat mengaji ku harus dimarah-marahi oleh ibuku tercinta.Sebuah trauma yang mendalam bagiku ketika itu.Ku berangkat ke tempat kajian dengan hati yang sangat berat seberat memikul karung 1 kuintal yang sering kulihat di pasar.Yah begitulah, masa-masa kecilku.Waktu itu yang kuinginkan adalah main-main saja dengan teman sebayaku yang mereka tidak mengaji dan menghabiskan kehidupannya dengan bersenang-senang.Orang tuaku memang orang yang sangat kolot dengan agama.Seringkali beliau mengatakan kepadaku semasa itu,”Kamu harus bisa mengaji dan jangan seperti bapake yang nggak bisa mengaji.”
Kata-kata
tersebut dalam sepanjang perjalanan hidupku senantiasa kucamkan pada otak yang
paling dalam yang berisi akal serta hati kecil yang mampu menjawab sesuai
nurani manusia. Hidup memanglah sebuah proses, meski dengan hati yang sangat
dongkol saat kecilku namun, kujalani kehidupanku seperti air yang mengalir yang
selalu menerobos apa yang ada di depannya. Hingga masa itu dengan kesabaran ku
mengaji apa yang ada pada Al-Qur’an dengan metode pembelajarannya Qira’ati yang
saat ini sudah membumbung tinggi namanya di Nusantara ini. Ku waktu itupernah belajar
mengaji di sebuah surau yang biasa dikisahkan di dalam
novel dengankedekilannya dan kurang terawat karena iniasiasi dari masyarakatlokal
akan kemajuan ilmu agama sangatlah minim. Hingga waktu itu ibuku memutuskan
untuk memindahkanku ke sebuah tempat yang dulu pernah menjadi memoriam bagi
kakakku.Ku belajar mengaji di sebuah tempat yang sangat indah dan sehari dalam
lima waktu lantunan adzan yang merdu serta aktivitas pengagungan hamba kepada
Rabb-Nya ada pada tempat itu. Tempat yang menjadi sebuah histori penting bagi
insan-insan yang berjiwa ksatria yang menyelami ajaran Islam hingga berjuang ke
dalamnya layaknya tentara-tentara Rabb al-Jadid. Tempat itulah yang membuatku
sedikit tahu akan ajaran Islam ini. Dialah Masjid “B”.Ku di tempat ini selain
menyelami Qira’ati, ku juga dibina oleh guru-guru tercintaku bagaimana
jalan-jalan untuk bisa mensucikan diriku dengan wudhu’ serta shalat. Dengan
terampilnya bagaimana ustadzku mengajari kami sebagai santrinya, gerakan demi
gerakan shalat yang pada waktu itu ku belum mengetahui apa sebenarnya yang
menjadi esensi dari aktivitas ini karena beliau tak pernah menjelaskan
kepadaku. Namun, hal itu terus kulakukan meski ketidaktahuanku belum membuatku
mengalami rasa kegalauan yang berarti.
Usiaku
di masa SD memang masih senang untuk bermain-main karena memang usiaku adalah
usia-usia anak yang sangat butuh untuk melakukan aktivitas seperti itu. Usiaku
di masa itu belum memunculkan sebuah pertanyaan besar sebenarnya apa yang
menjadi jalan bagi hidupku ini. Usiaku lambat laun semakin bertambah dan jalan
menuju kematianku jelas semakin dekat.Memang sebuah hal yang sangat dibenci
ketika aku sendiri merasa belum bisa berbuat apapun untuk kemajuan bangsa
ini.Ku terus merenung dalam detik-detikku.Di masa SMP, ku pernah menemui banyak
hal yang belum pernah kutemukan sebelumnya.“Mandi Besar” sebuah istilah yang
baru saja terdengar di telingaku, ku tak mengerti sebenarnya bagaimana tata
cara melakukan mandi besar tersebut. Pada waktu itu ku gelisah karena ku sudah
berusia sudah baligh yang ditandai keluarnya air mani memang hal ini juga belum
pernah diajarkan di dalam sebuah forum yang dinamakan mengaji tersebut.
Akhirnya selidik demi selidik ku baru mengetahui sebenarnya apa yang ada pada
fiqih meski sangat sedikit sekali.
Dengan
menanyakan ke beberapa guru SMP-ku yang sangat terkenal dengan tim agama di
sekolah tercintaku itu membuatku semakin tahu. Lembaran-lembaran buku yang
tebal, kaset-kaset VCD serta kaset pita yang berisikan tentang Islam menghiasi
ruangan mereka.Bukan hanya ku sendiri yang sering main-main di tempat tersebut,
tapi teman-temanku pun juga ada yang melakukan konsultasi seputar hukum-hukum
Islam yang ku kenal pada waktu itu adalah fikih.Fikih memang memberikan acuan
bagiku dalam melakukan aktivitas kehidupan.Fikih juga diperkenalkan oleh SMP-ku
karena sekolah yang berbasis Islam meski titik tolaknya adalah fikih ibadah.Ku
pada waktu masuk masa-masa MOS telah diperkenalkan bagaimana shalat Dhuha,
bermunajat kepada Allah dengan lantunan do’a serta di setiap seusai shalat kami
diberikan pengarahan seputar fikih.Memang sebuah adaptasi yang sangat berat
bagi teman-temanku yang kurang mencintai aturan-aturan Allah karena mereka
menginginkan sebuah kebebasan yang mutlak tanpa sebuah aturan yang jelas.Apa
daya ketika manusia tanpa ada aturan, tentu apa yang terjadi pada dunia ini.
Kehancuran pastilah ada di mana-mana.Ini adalah sebuah sunnatullah karena
manusia sudah tak mau lagi diatur oleh Sang Khaliq, Pencipta seluruh alam
semesta, kehidupan serta manusia.Memang SMP-ku dulu masih sangat tergolong baru
karena baru saja dibangun sehingga kurikulum yang diterapkan pun masih
mencari-cari model yang pas.Di sekolah itu, ku menemui banyak sekali pengalaman
religius dari guru-guruku yang dulu pernah melakukan studi di beberapa
universitas Islam yang ada di Indonesia.Mereka ada yang menceritakan
bagaimanakah kita harus melakukan toleransi kepada saudara kita yang berbeda
dalam melakukan ibadah.Termasuk seperti antara Muhammadiyah dengan NU atau
Salafy yang memang berbeda madzhab dalam urusan ibadah. Hal-hal tersebut akan
kami kenang selamanya. Aku dan beberapa temanku di sana, yang sangat terkenal
dengan sebutan tiga serangkai pun tak kalah dengan mereka. Kami suka mencari
sebuah pertanyaan-pertanyaan baru yang belum muncul seputar hukum Islam.Ini
adalah sebuah langkah awal untuk bisa mencintai fikih.Meski kami masih belum
mengetahui teks asli dari kitab-kitab, tapi aku mencoba untuk segera terus
menyelaminya, menyelami samudra yang luas yang tak bisa dijangkau oleh mata
telanjang yang seakan tak mampu untuk bisa bertahan karena dangkalnya ilmu
untuk mempersiapkannya.
Ada
hal-hal aneh yang banyak kutemui waktu SMP, ku dapati guru-guruku pada umumnya yang
melakukan shalat dengan sangat cepatnya secepat kilatan mobil di jalanan
sehingga tak membuatku terkesan padanya tapi ada sebuah hal yang aneh dengan
salah satu guruku.Guruku memang tampak aneh dari kulit luarnya.Ia kurasa suka
meniru gaya-gaya Timur Tengah khususnya Arab. Bagaimanakah mode pakaian yang
digunakan oleh orang Arab?Tentunya sangat berbeda dengan yang ada pada di
Indonesia. Di sana para lelaki memakai gamis, berjenggot, mencukur rambutnya
setiap kali panjang, serta yang sangat unik adalah memakai celana yang
disebut-sebut oleh orang yang berlidah Jawa dengan istilah “cingkrang”. Orang-orang
seperti ini memang bagi mayoritas umat Islam menunjukkan kesombongannya bahwa
ia adalah satu-satunya yang memang benar-benar fanatik dalam menerapkan Islam.
Hal ini juga mengingatkanku ketika peristiwa Bom Bali I yang katanya dilakukan
oleh golongan kaum Islam yang model-model seperti ini.Ketakutan memang
menderaku waktu itu ketika melihat dan didekati oleh orang-orang seperti ini.
Namun
dengan seringnya waktu yang terus berjalan tanpa henti sedetik pun, ku mulai
memahami bagaimanakah mereka. Aku yang dulu sangat takut untuk mendekat dengan
guruku itu ternyata ku tahu dan mengenali beliau lebih jauh.Ku semakin terkesan
dengan butiran-butiran nasehat dari beliau.Nasehat yang memberikan sebuah
pencerahan bagi kita yang keras hatinya.Nasehat yang membuat kita menjadi insan
kamil, insan-insan yang dicintai dan dirindukan oleh ummat.Apa yang ada pada
beliau memang menjadi sebuah kontroversial di sekolahku karena beliau adalah
satu-satunya guru yang mau tampil beda dan mampu bertahan dalam keterasingan
dunia ini. Dunia ini tanpa fiqih, tanpa hukum-hukum Islam serasa tak manis.
Takkan ada semut-semut yang akan mencarinya, tiada manfaat jika tanpanya. Dalam
menerapkan fikih Islam memang tak semudah yang dibayangkan.Inilah fakta yang
jelas bagiku, ku telah diberikan sebuah lukisan hidup yang gamblang oleh
Allah-ku.Allah yang senantiasa memberikan pelajaran bagi hamba-Nya yang terbuka
pikirannya sehingga tak mendangkalkan arti hidupnya.
Hidup
adalah sebuah warna.Warnalah yang memberikan sebuah keindahan.Keindahanmembuatku
mau memandang pemandangan pematang-pematang sawah yang ditumbuhi oleh padi-padi
yang masih hijau tegak, bunyi jangkrik yang ternyata langsung menusuk hatiku
untuk segera melakukan introspeksi diri.Warna kehidupan tak selamanya harus
hijau namun berwarna-warni.Begitulah fikih yang aku temui di berbagai tempat
dalam penerapannya.
Perjalanan
hidupku yang kuiringi dengan fikih sebagai hukum-hukum yang diaplikasikan
semakin matang ketika menginjak masa SMA.Masa-masa itu memang sebuah masa
pencarian jati diriku.Di sini ku sering diajari oleh kehidupan sebenarnya bagaimanakah
aku menyikapi sebuah persoalan yang sering diperdebatkan di kalangan kaum
muslimin.Ku semakin terbuka dengan madzhab-madzhab yang dikeluarkan oleh para
mujtahid terdahulu seperti Imam Asy Syafi’I, Imam Hambali, Imam Abu Hanifah
serta Imam Malik.Aku mencoba semua madzhab ini dengan mengaplikasikannya.Aku
mendapatkan tsaqafah Islam khususnya fikih ketika bergabung dengan rohis di
SMA-ku.Rohis itulah yang mengantarkanku untuk lebih mencintai fikih.Kajian-kajian
yang dilakukan setiap minggunya serta mentoring dari guruku yang hingga kini
selalu ku kenang, semoga beliau senantiasa diberikan keistiqamahan dalam
menyusuri kerasnya hidup ini.Rohis telah menuntunku untuk mengetahuinya lebih
dalam dari fikih ibadah, fikih muamalah, fikih nafsiyah hingga fikih jihad yang
dikaji dari berbagai madzhab.
Dan
aku pun mulai mengerti dengan apa sebenarnya yang diinginkan Allah atas kita,
ternyata ia menginginkan kita untuk beribadah kepada-Nya. Tentunya Allah akan
sangat mencintai manusia yang mau mendekat pada-Nya. Apalagi insan tersebut
mulai memahami apa yang dimaksud dengan kebangkitan pada dirinya. Kebangkitan
yang berawal dari sebuah penghambaan kepada sesama manusia menuju penghambaan
pada Allah Azza Wa Jalla. Ini merupakan sebuah pondasi yang kokoh untuk segera
melaksanakan syari’at Allah. Belajar fikih tentu tanpa sebuah landasan akidah
yang sangat kuat serta keinginan besar kita untuk mengaplikasikan sebagai
sebuah bentuk konsekuensi kita karena kita telah diciptakan oleh Allah Azza Wa
Jalla. Sehingga inilah yang memang menjadi kecintaanku padanya. Kecintaan pada
fikih yang nantinya akan mempermudahku untuk semakin memahami Allah Azza Wa
Jalla. Itulah yang kurasakan semenjak SMA, semenjak ikut dan terjun di rohisku.Rohisku
telah membuka kesempitan cakrawala berpikirku, dulu aku modelnya yang suka
ngotot jika tidak sesuai dengan pemahamanku.Ternyata semua itu harus dihapus,
egoisme dalam bermadzhab juga tidak dicontohkan oleh para Imam-imam
terdahulu.Oleh karena itu, aku pun semakin mencintai fikih yang dulunya hanya
sebatas fikih ibadah yang khusus (mahdah) saat ini cakupannya sangat luas.
Ku
baru mengetahui bahwa Islam tak sesempit ruangan kelasku, Islam tak sesempit
kotak kardus yang hanya mengurusi hubungan manusia dengan Ilah-Nya tapi Islam
di dalam fikihnya juga mngatur hubungan antara manusia dengan manusia
lainnya.Misalnya ku sering juga bertanya-tanya dalam hati sanubari mengapa
hingga dari dulu sejak ku mengaji di TPA tidak pernah diajarkan fikih yang mengurusi
masalah pergaulan antara laki-laki dengan perempuan. Ku juga bertanya-tanya
sebenarnya dari dulu yang diajarkan hanya masalah fikih thaharah, shalat
ataupun munakahat dan tidak pernah dijelaskan bahwasanya keterikatan dengan
hukum syara’ pasti wajib dilakukan oleh muslim yang sudah menyakini syahadatain
di dalam dirinya. Dari sinilah, ku mulai menemukan betapa dangkalnya
berpikirku, ku merasa seperti katak dalam tempurung.Inilah sebuah kesadaran
bagiku, inilah sebuah kebangkitan berpikirku. Ku menemukan apa yang ku
inginkan. Politik yang dulunya ku anggap sebuah candu karena sebuah skenario
fakta yang dibuat oleh elit politik di negeri ini seakan-akan politik itu
sesuatu hal yang tak usah untuk dipikirkan ditambah dengan kyai-kyai yang
langsung terjun ke dalam ranah percaturan membuat Islam seolah-olah tak bisa
memimpin di situ.Berangkat dari rohis dengan pengasuhan guruku, ku tahu
fakta-fakta selama ini yang memang menjadikanku bertanya-tanya semua bisa
terjawab.Memang hukum di Indonesia sebagian menggunakan hukum Islam (fikih)
tapi diterapkan pada segmentasi tertentu seperti kawin cerai dan pembagian
harta waris bukan mengurusi politik.Di sinilah ku mulai menemukan fikih tentang
jinayah, muamalah, uqubat yang memiliki sebuah konsepsi yang jelas dan memang
sekarang harus diperjuangkan oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Inilah
awal baruku, memulai sebuah kehidupan yang dirasa sangat asing.Sebuah bisyarah
yang dirasa oleh mayoritas orang sebuah mimpi yang takkan terwujud.Di situlah
ku mulai tergugah untuk mencintai fikih Islam secara kaaffah.Fikih Islam akan menjadikan umat manusia makin terarah
meski dalam penegakannya pun mengalami sebuah badai tsunami kehidupan yang amat
besar. Nah, dunia baruku.Dunia yang mengharuskanku mencintai fikih serta ushul
fikih karena ku tak hanya ingin menjadi penikmat sebuah hidangan tsaqafah Islam
tapi ku ingin menjadi Imam Asy Syafi’i yang mampu mencetuskan sebuah ushul
fikih serta fikihnya.Teruntuk seluruh keluargaku, serta Allah yang kucintai
disinilah ingin ku katakan Izinkan Aku mencintai Fikih. [MujahidElQalam]
0 komentar:
Posting Komentar