5/20/2012

TAMPILNYA CHINA SEBAGAI SEBUAH KEKUATAN



Cina Ancaman AS
1. Lonjakan ekonomi China tidak terjadi secara tiba-tiba.  Akan tetapi itu adalah hasil dari strategi yang direncanakan dan diatur dengan baik.  Dimulai pada masa Deng Xiaoping yang pada waktu itu dikenal oleh sebagian orang dengan istilah “Politik Pintu Terbuka”.  Setelah Xiaoping, penggantinya menggunakan istilah “Kebangkitan Damai China”.  Kedua strategi tersebut -Politik Pintu Terbuka dan Kebangkinan Damai China- pada substansinya berbicara tentang tranformasi China menjadi kekuatan ekonomi dan menerjemahkan kekuatan ekonomi itu menjadi kekuatan militer yang bisa mempertahankan kepentingan-kepentingan ekonomi dan perdagangan China.  Begitu juga, kedua strategi itu ditujukan untuk menghadapi setiap pihak yang akan meminimalkan misi China dalam mempromosikan ideologinya secara kuat di luar negeri dan menghadapi siapa saja dari kekuatan besar yang berusaha menghadang China, utamanya Amerika Serikat.  Disamping itu, kedua strategi itu juga dimaksudkan untuk meredakan kekhawatiran tetangga China dan meyakinkan mereka akan tidak adanya niyat China dalam memperluas hegemoninya di kawasan Asia Pasifik.

2. Untuk merealisasi hal itu, China mengembangkan perekonomiannya melalui dua tahap: pertama, reformasi pedesaan. Kedua, industrialisasi pedesaan dan reformasi perusahaan.  Hal itu didukung oleh beberapa faktor diantaranya upah buruh lokal yang murah, penguasaan teknologi maju dari barat - teknologi maju dirahasiakan- dan Rusia, urbanisasi yang cepat, eksport yang digerakkan oleh industri dan penjualan barang-barang murah ke seluruh dunia.  Sebagian besar ekspor industri China adalah ke Jepang dan Jerman. Oleh karena itu China pada era 80-an dan 90-an mengalami pertumbuhan ekonomi yang besar.  Sejak tahun 1979 sampai tahun 2010 rata-rata angka pertumbuhan PDB China mencapai 9,91 %, dan tertinggi pernah mencapai 15,2 % pada tahun 1984.  Pada dekade pertama abad ini, China mencatatkan angka pertumbuhan PDB 13 % pada tahun 2007 sebelum akhirnya mengalami penurunan.  Perekonomian China belum benar-benar muncul kecuali pada dekade lalu.  PDB China melampaui PDB Italia pada tahun 2000, Prancis tahun 2005, Inggris tahun 2006, Jerman tahun 2007 dan akhirnya mengalahkan PDB Jepang pada tahun 2010 (Nin-Hai Tseng, ““China is richer, but most Chinese are still poor”, CNN online, 17 Feb, 2011).  Hal itu menjadikan China sebagai perekonomian kedua terbesar setelah Amerika Serikat.  Sebagian pihak memprediksi, China akan menjadi kekuatan perekonomian terbesar di dunia pada akhir tahun 2019 (“How to gracefully step aside”, The Economist online, 11 Januari 2011).  Periode itu mendorong sebagian orang China menganggap bahwa masa keemasan (Shengshi) China telah datang.

3.  Masalah utama kedaulatan perekonomian China adalah bagaimana menjaga kurs mata uang China Renminbi (juga dikenal dengan Yuan) pada tingkat tertentu terhadap Dolar Amerika sehingga bisa menjamin ekspornya akan tetap (harganya) murah dan atraktif mendorong negara-negara di seluruh dunia mengimpor dari China.  China merealisasi hal itu melalui sejumlah sarana:  Diantaranya sebagai contoh, ketika para pemilik pabrik di China memperoleh pembayaran untuk barang ekspor mereka dalam bentuk Dolar AS, dolar itu segera dirubah ke Yuan.  Hal itu karena tender/transaksi legal di pasar dalam negeri China adalah menggunakan Yuan.  Para pemilik pabrik harus membayar kepada para suplier, pekerja dan transaksi dalam negeri (faktur, tagihan, biaya, dll) dalam mata uang Renminbi (Yuan).  Ini menyebabkan meningkatnya tekanan terhadap Yuan.  Sebab permintaan Yuan meningkat dan mengakibatkan naiknya nilai Yuan terhadap Dolar.  Oleh karena itu Bank Sentral China menggunakan sejumlah teknik untuk keluar dari masalah ekses Renminbi dari pasar dalam negeri.  Diantaranya adalah obligasi dalam negeri dan alat-alat finansial lainnya.  Bank Sentral China juga mengembalikan dolar yang diperolehnya ke perekonomian Amerika Serikat melalui pembelian surat utang Amerika Serikat.  Dengan jalan ini pemerintah China mampu menghalangi naiknya nilai (kurs) mata uangnya terhadap dolar.  Dengan jalan ini China menjadi negara utama pemberi utang kepada Amerika Serikat.  Pada bulan Mei 2011 China menguasai 26% dari surat berharga untuk pasar asing yang dikelola oleh departemen keuangan Amerika Serikat (setara dengan 8% dari total utang publik AS).
China sangat keras membela kebijakan Yuan.  Beijing berargumentasi jika nilai Yuan naik dengan cepat hal itu akan berpengaruh negatif terhadap ekspornya (sehingga komoditi China biayanya akan lebih banyak dan kurang mampu bersaing di luar negeri).  Jika itu terjadi maka pabrik-pabrik akan terpaksa tutup dan akibatnya jutaan warga China akan menganggur.  Hal itu akan menjadi ancaman berbahaya terhadap kestabilan China.
4.  Ironisnya, Amerika -partner perdagangan terbesar China- sudah dan terus memiliki peran besar dalam pertumbuhan ekonomi China.  Hal itu dengan jalan Amerika memberi Beijing status Most Favoured Nation (MFN).  Amerika Serikat terus memperbarui status Most Favoured Nation (MFN) itu setiap tahun.  Padahal ada ketidakseimbangan neraca perdagangan antara AS dan China.  Sampai status itu dibakukan pada tahun 2000.  Dan Amerika mentolerir ketidakseimbangan dalam neraca perdagangan itu karena menguntungkan bagi dua tujuan penting:
Pertama, supaya China terus menerus disibukkan mengatur dan menjamin sumber-sumber di seluruh dunia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Hal itu memaksa China untuk mendapatkan resources lebih banyak dan lebih banyak lagi.  Sehingga China kurang memperhatikan pengembangan kemampuan militernya.  Penting diisyaratkan bahwa Amrika mengalahkan Uni Soviet melalui politik perlombaan senjata seentara para pembuat kebijakan di Washington meyakini bisa mengalahkan China melalui perlombaan dalam aspek ekonomi.
Kedua, untuk menciptakan kelas orang-orang China yang mencintai kapitalisme dan nilai-nilai Amerika.  Dengan begitu, China akan terancam untuk memberikan perubahan demokratis.  Dengan ungkapan lain, Amerika sudah dan terus mengintai untuk memicu revolusi di China menentang Partai Komunis melalui kelas menengah yang terpesona dengan kapitalisme.
Disamping itu, Amerika Serikat menurunkan kemampuan China dalam memainkan peran lebih besar di dalam urusan-urusan kawasan dan global.  Amerika bekerja agar pemerintahan China terus disibukkan oleh berbagai persoalan dalam negeri dan luar negeri yang terjadi di sekitar China.  Dan berikutnya bisa diekploitasi masalah HAM berkaitan dengan perlakuan China terhadap Tibet dan Xinjiang untuk menentang Beijing.  Amerika juga memanfaatkan masalah Taiwan, Korea Utara dan keamanan di kawasan Asia Pasifik untuk menjamin penyerapan tenaga para politisi China dan menyibukkan mereka dengan berbagai persoalan yang tiada putusnya.
5.  Amerika mengalami bencana yang dalam di Irak dan Afganistan disamping sedang dilanda krisis ekonomi global pada tahun 2008 yang memperuncing hubungan Amerika-China.  Amerika tidak lagi dinilai sebagai kekuatan besar seperti dahulu.  Dunia berubah dari satu kutub (uni polar) pada tahun 1991 menjadi multi kutub (multi polar) setelah invasi Irak pada tahun 2003.  Ketika itu, kekuatan-kekuatan besar bersaing dengan Amerika untuk mengontrol kawasan.  China adalah salah satu diantara negara-negara yang muncul ke permukaan.  Ada sebagian intelektual di Barat yang meyakini bahwa neraca kekuatan global sedang mengalami perubahan pasti untuk kepentingan China.  Beberapa buku yang menarik perhatian telah diterbitkan diantaranya berjudul: In the Jaws of the Dragon: America’s Fate in the Coming Era of Chinese Hegemony -Dalam Cengkeraman Naga: Masa Depan Amerika Di Tengah Era Hegemoni China- (oleh Eamonn Fingleton, 2008); Juga buku berjudul: When China Rules the World: The End of the Western World and the Birth of a New Global Order -Kapan China Memimpin Dunia: Akhir Dunia Barat Dan Lahirnya Tatanan Dunia Baru- (oleh Martin Jacques, 2009); dan buku berjudul: The Beijing Consensus: How China’s Authoritarian Model Will Dominate the Twenty-First Century -Konsensus Bejing : Bagaimana Model Otoritarianisme China Akan Mendominasi Abad Ke-21- (oleh Stefan Halper, 2010).

Pada konteks ekonomi tampak bagi seluruh dunia bahwa perekonomian China telah melewati badai finansial dengan lebih baik dari Amerika dan Eropa.  Oleh karena itu, para pemimpin politik dan ekonomi Amerika menyerang kebijakan Beijing secara agresiv terkait masalah penjagaan nilai kurs Renminbi (Yuan) yang rendah.  Mereka percaya hal itu akan menyakiti prospek ekonomi Amerika untuk bangkit dari sakit dan membahayakan kemampuan Amerika untuk bersaing di pasar global.  Pada Januari 2009, Mr. Geithner sebelum ia menjadi menteri keuangan AS menyatakan: “presiden Obama meyakini -didukung dengan sejumlah kesimpulan dari para ekonom secara luas- bahwa China bemain-main dengan mata uangnya” (Jackies Calmes,”Geithner Hints at Harder Line on China Trade“, New York Times Online, 22 Januari, 2009 ).  Kritik-kritik ini tidak pada tempatnya.  Sebab penurunan nilai dolar itu berkaitan dengan menurunnya cadangan federal untuk nilai dolar melalui pencetakan uang dolar baru.  Hal itu lebih kuat hubungannya (dengan penurunan nilai dolar) dari pada kaitannya dengan bank sentral China yang mendukung penurunan nilai Yuan.  Disamping bahwa China belakangan mengijinkan kenaikan nilai mata uangnya (Yuan), bukan karena tekanan Amerika, akan tetapi karena memperhatikan fakta bahwa sebagian dari perekonomiannya yaitu pasar property mengalami overheating.  Hal itu menyebabkan penurunan PDB China yang sekarang mencapai sekitar 8%.
Sedangkan pada konteks militer, krisis finansial telah membuat Amerika Serikat mengurangi daerah operasi militernya.  Kementerian pertahanan AS “Pentagon” mengumumkan penurunan besar dalam anggaran pertahanan.  Beberapa program persenjataan telah didrop.  Amerika Serikat secara resmi telah meninggalkan kebijakan terjun ke dua medan perang pada saat yang bersamaan.  Dalam alur ini, Amerika dan sekutunya di kawasan Asia Pasifik menjadi jauh lebih perhatian dengan kemampuan militer China dibanding sebelumnya, khususnya terhadap angkatan laut China.  Melemahnya hegemoni militer Amerika di dunia memberikan dorongan kepada China untuk membesarkan otot militernya.  Sebagai contoh, pada November 2007 China melarang kapal induk USS Kitty Hawk untuk sampai ke selat Victoria di Hongkong.  Pada bulan Maret 2009 sejumlah kapal laut China mengancam kapal survei Amerika Serikat USNS Impeccable di laut China selatan.  Disamping China juga memodernisasi armada kapal perusaknya, China juga berencana untuk mendapatkan dua kapal pengangkut pesawat dan telah berinvestasi banyak dalam membangun kelas baru konvensional, penyerang nuklir dan kapal selam balistik.  Menurut Seth Cropsey, mantan wakil sekretaris angkatan laut AS, China dapat memiliki kekuatan kapal selam lebih besar dari yang dimiliki oleh angkatan laut AS yang terdiri dari 75 kapal selam dalam jangka waktu 15 tahun ke depan. Pada waktu China memodernisasi kekuatan militernya, maka menjadi sulit bagi Amerika untuk melindungi Taiwan.  Menurut kajian RAND tahun 2009, pada akhir tahun 2020, Amerika Serikat tidak akan bisa lagi melindungi Taiwan dari serangan China.  Disamping China mengkonsentrasikan kekuatannya pada Taiwan, angkatan laut China juga diproyeksikan menambah kekuatannya di laut China Selatan yang dianggap sebagai pintu gerbang China ke Asia Pasifik dan jalur transportasi hidrokarbon dunia. (Robert Kaplan, “The Geography of Chinese Power“, Foreign Affairs May/June 2010).
Sesuatu yang memicu alarm Amerika adalah perkembangan cepat kekuatan militer China dan ambisi Beijing dalam memanfaatkan kekuatan angkatan lautnya untuk menghalangi sampainya kapal Amerika ke beberapa wilayah perairan dan pelabuhan.  Karenanya Amerika belakangan diminta untuk memperbarui komitmen keamanannya dengan sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik yang meliputi Jepang, Australia, Indonesia dan Korea Selatan.  Sebagaimana, Amerika Serikat juga berjanji memberikan USD 6,4 miliar sebagai senjata kepada Taiwan.  Dalam kunjungan Obama ke negara-negara Asia Pasifik tahun lalu, Obama setuju penempatan 2.500 pasukan angkatan laut secara tetap di Australia dan menambah pesawat tempur seperti pembom B-52.  Obama juga mengumumkan untuk mensuplay 24 pesawat tempur F-16 C/D bekas yang diperbarui kepada Indonesia.  Obama juga memperingatkan China akan perselisihan di laut China Selatan.  Obama mengatakan: “saya sudah mengarahkan team keamanan nasional saya untuk menjadikan eksistensi dan misi kita di kawasan Asia Pasifik sebagai prioritas … termasuk perkara yang vital, bukan hanya berkaitan dengan perekonomian kami akan tetapi juga berkaitan dengan keamanan nasional kami”.  Beberapa estimasi memperkirakan bahwa nilai perdagangan yang melalui laut China Selatan mencapai lima triliun dolar dimana bagian Amerika mencapai 1,2 triliun dolar. (Robert Maginnis, “U.S. Declares Cold War With China“, Human Events online, 25 November 2011).

Sebagaimana Amerika juga berupaya meningkatkan kerjasama perdagangan dengan negara-negara kawasan Asia Pasifik melalui Perjanjian Kerjasama Strategis Ekonomis Trans-Pasifik  (the Trans-Pacific Strategic Economic Partnership Agreement -TTP) untuk mengikat negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Australia, Selandia Baru dan Singapura dengan ikatan ekonomi yang kuat dan membatasi adanya komoditi China di negara-negara tersebut.

Ringkasnya
Tampak bahwa China memanfaatkan kemunduran Amerika.  China sekarang jauh lebih tegas dalam masalah laut China Selatan dan masalah perbatasan yang diperselisihkan dengan Jepang dan Vietnam.  China jauh lebih berani dan konfrontatif seputar permasalahan internasional.  Dimana Beijing belakangan bersikap melawan Amerika Serikat dan Barat di PBB dan memveto resolusi Dewan Keamanan terkait Suria.  Pada saat yang sama, kekuatan militer China belum sanggup menghadapi Amerika Serikat.  Namun kekuatan militer China tetap siap untuk menghalangi sampainya kapal perang Amerika ke sebagian jalur perairan dan pelabuhan -awal dari semacam doktrin Monroe untuk China-.  Pada saat yang sama, Amerika Serikat bekerja menilai permusuhan China yang belakangan terbongkar.  Amerika Serikat siap menggunakan semua resourcesnya untuk menghalangi China menggantikan posisinya pada dekade mendatang.  Seorang ilmuwan politik AS John Mearsheimer meredaksikan hal itu dengan jalan yang berbeda.  Ia mengatakan bahwa kekuatan hegemoni di belahan bumi barat akan berusaha menghalangi China menjadi kekuatan yang mengontrol belahan timur.  Isyarat ini menjadi drama abad ini.
Akan tetapi sebelum China bisa menjadi ancaman bagi Amerika Serikat, China harus mengatasi sejumlah tantangan dalam negeri, yaitu: fokus berlebihan terhadap ekspor, dan ancaman perekonomiannya mengalami pelambatan.  Pada tahun 2007 presiden Wen Jiabao mensifati perekonomian China sebagai “tidak stabil, tidak seimbang, tak terkoordinasi dan tidak berkelanjutan”.  Masalah kependudukannya adalah aging populatin (populasi yang menua yaitu persentase jumlah penduduk usia tua makin membesar dibanding penduduk usia muda) -ini adalah akibat dari upaya Mao untuk membatasi jumlah penduduk China- dimana jumlah penduduk yang berusia diatas 60 tahun mencapai 178 juta jiwa.  Jumlah ini akan menjadi dua kalinya pada akhir tahun 2030.  Masalah ini bukan hanya berarti makin kecilnya angkatan kerja, akan tetapi masalah pemeliharaan orang-orang yang sudah pensiun juga akan menjadi permasalahan sosial yang besar.  China juga menghadapi masalah pemilihan presiden baru oleh para elit pada tahun ini.  Skandal Bo Xilai telah menyingkap adanya kecemasan di kalangan elit.  Semua ini banyak bergantung pada bagaimana China menangani permasalahan-permasalahan itu.  Jika China menangani masalah-masalah itu dengan buruk, maka dunia akan menyaksikan kehancuran China dan bukan kemunculan China.

Hubungan-hubungan China-Amerika menciptakan kesempatan besar kepada daulah al-Khilafah di masa depan untuk mewujudkan perubahan di sejumlah medan.   Ini akan banyak bergantung pada titik sentral daulah al-Khilafah.
Sumber utama energi China datang dari Timur Tengah dan negara-negara Asia Tengah.  Ini bisa memberikan pengaruh sangat besar untuk daulah al-Khilafah dengan jalan sebagai berikut:
1.      Memaksa China untuk membuka front kedua dengan Amerika di kawasan Pasifik.  Hal itu bisa terealisasi dengan jalan mendorong China untuk mengambil kembali Taiwan, dan penyatuan semananjung Korea melalui Korea Utara.  Ini secara otomatis akan mengantarkan pada peperangan dengan Amerika.  Dengan begitu akan memberikan kesempatan kepada daulah al-Khilafah untuk membebaskan bumi-bumi kaum muslimin.
2.      Mendorong Cina untuk mengerahkan pasukan tambahan di perbatasannya dengan India, dan mengancam untuk menyerang Arunachal Pradesh dan Aksai Chin. Tujuan dari hal ini adalah agar India mengerahkan pasukannya (melawan China), untuk menghalangi India memobilisasi pasukannya menghadapi Pakistan (dengan asumsi negara Pakistan akan menjadi bagian dari daulah al-Khilafah).
3.      Mendorong Cina untuk melepaskan Dolar dan Euro yang dimilikinya dengan imbalan minyak dan gas murah. Hal ini akan menyebabkan masalah besar bagi Amerika Serikat dan Eropa, dan tentu saja akan mengakhiri dominasi ekonomi mereka.
4.      Memaksa China merubah perilakunya terhadap kaum muslimin di Turkistan Timur dan juga terhadap kaum muslimin yang hidup di bagian lain dari China.  Wilayah Turkistan Timur merupakan pintu gerbang untuk menyampaikan Islam ke China.  Pintu gerbang lainnya adalah Taiwan.  Jika Taiwan dikuasai oleh daulah al-Khilafah maka Taiwan akan menjadi semacam pengangkut pesawat yang tidak bisa ditenggelamkan dan bisa digunakan untuk mengekspos kekuatan al-Khilafah terhadap daratan China dan laut China selatan.  Hal itu masih ditambah dengan dekatnya Indonesia dan Malaysia.  Semua itu akan memberi kekuatan besar kepada daulah al-Khilafah di kawasan Asia Pasifik.
19 April 2012
Sumber : Hizbut Tahrir Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar